Ranah

Ratok taragak dari rantau

Laba-laba

Together, everywhere, forever..

Be happy

Ceria mengejar impian.. tetap optimis walau jalan masih berdebu

Revolution

Menyaksikan sisa-sisa Revolusi Mesir di Tahrir Square

BBM club

Belajar,Berbagi, Mumtaz | Korean view - International Park

Sejarah kita tak bisa lepas dari orang, bangunan, dan tradisi. Di dalamnya kita temukan nilai-nilai, pola hubungan, budaya, dan juga peradaban. Pada ketiganya kita menyandarkan sebagian besar proses bertumbuh dalam hidup. Sebab hidup, adalah soal bercermin dari masa lalu dan masa sekarang, untuk masa depan. Oleh karena itu, Al Qur'an menyuruh kita berjalan, agar mata lebih terbuka, agar kita mau berpikir, mengambil pelajaran, dan mengerti. Maka, "Lihat Bangunan, Orang, dan Tradisi Negeri lain" #tarbawi 295

Kamis, 13 Juni 2013

Balada Surau Tua

Surau Tua
bangunan tua itu membuat hati miris
nasibnya kian hari makin tak terurus.
halamannya yang dulu asri kini penuh semak berduri
atap yang dulu cerah mengkilat kini sudah hitam berkarat
tiangnya yang kokoh kini telah keropos
tak ada lagi yang tahu mana jalan menuju surau itu
ia sudah lama ditinggalkan
ditinggalkan bukan hanya karena tak layak pakai
tapi karena tak ada lagi yang mau memakai

Surau Tua...
kini kian sepi ditengah keramaian
tak ada lagi suara riuh anak anak mengaji alif ba-ta atau Al-Quran
tak terdengar lagi suara batuk 'Buya' ketika mengajar anak anak atau mengimami Shalat
tak ada lagi suara serak Pak Bilal tua mengumandangkan azan
tak ada lagi suara 'tabuah' yang dipukul tiap Shubuh, Maghrib dan Isya
Tak ada lagi keciprak air pancuran ketika orang berwudhu

Surau Tua
terletak dipinggr kampung dan kini kian terpinggirkan

Surau Tua...
kini kian lapuk dimakan usia
pernah kubertanya ada apan dengan suaru tua itu...
mereka bilang tak ada imam
kutanya pada imam
dia bilang ak ada ma'mum
kutanya pada ma'mum
mereka berkata, kami tak mendegar panggilan azan
kubertanya ke mana Pak Bilal
kata mereka bilal sudah lama meninggal
kubertanya lagi...
kenapa tak ada yang mau menggantikan bilal?
kata mereka, lafaz azan tak satupun yang hafal
kalau pun ada, tapi tak lancar
kuteruskan bertanya
kenapa tak ada yang belajar?
mereka bilang kami tak punya guru
kubertanya pada guru
jawab guru, tak ada murid yang mau diajar
kutanyakan pada murid kenapa tak mau diajar
mereka bilang, uang iuran mahal
kata yang lain pak guru sangar
pak guru bilang murid-muridnya nakal
tapi murid membantah pak guru tak pandai mengajar
dan aku bertanya lagi
apakah surau itu akan dibiarkan tertinggal?
dan rela kampung ini mendapat bala hingga semua akan menyesal?
hening...
tak satupun yang menjawab
dengan serempak mereka menjawab "tidak..."
kalau begitu siapa yang bersedia 'menghidupkan' surau itu lagi?
semua bungkam dan saling tatap satu sama lain
lama, tak ada jawaban
hingga seorang pemuda maju dengan malu malu
"saya bersedia...", katanya
semua mata tertuju padanya
bisik bisik pun mulai terdengar dari mereka
"Siapa dia?"
"Siapa orang tuanya?"
"Apa sekolahnya?"
"Memangnya dia bisa apa?"
Ada yang bangga, ada yang mencibir, ada yang tak respon apa-apa
Oh ya kawan
ada yang menarik
ada yang berkomentar begini;
"Dia ank siapa?"
"Dimana kampungnya?"
"Apa sukunya?"
"Bolehlah dijadikan menantu..."
hingga si pemuda tersipu-sipu
sementara anak-anak gadis mereka tertunduk malu
dan saling tatap penuh cemburu
hingga kabar tentang pemuda ini
sampai ke telinga sang guru
yang telah lama ditinggal murid-muridnya
sang guru tersenyum bangga bercampur haru
dengan mata berkaca-kaca ia berkata,
"dia dulu adalah murid terbaik saya...
semoga dia lebih baik daripada saya"

Sejak hari itu
Surau Tua tak lagi merana
kala fajar menyingsing,
suara 'tabuah' kembali bergema di pelosok kampung
disambut kumandang suara azan yang mendayu-dayu dibawa semilir angin
terkadang suaranya menghiba
terkadang penuh emosi
kokok ayam jantan pun kini berubah,
kalau biasanya berkokok dengan nada emosi
karena sang tuan masih mendengkur
kini bervariasi, sesuai suasana hati
jangan tertawa kawan...
tapi beginilah nuansa semarknya kampung

azan selesai, satu dua orang mulai berdatngan ke Surau Tua
ada Kakek Ini, Nenek Itu, Amai Itu, Inyiak Ini
mereka berjuang dengan langkah terseok-seok dan nafas yang sesak
melawan dinginnya udara pagi
terkadang ditemani cucu mereka yang masih kecil
berjalan dengan sempoyongan melawan rasa kantuk
pagi itu kampung kembali semarak...

saat petang datang menyambut malam
anak anak mulai ramai berdatangan
riuh rendah suara teriakan mereka
menjadi salah satu musik alam yang indah
ceria wajah mereka
canda dan teriakan mereka
sembari berlari-lari di sekitar pekarangan Surau Tua mennunggu azan magrib
mejadi pemandangan yang menarik
terkadang membuat gusar orang yang melihat
karena ulah mereka mengganggu teman-temannya
dari jendela Surau Tua,
sang pemuda tadi mengawasi anak anak
dengan senyum wibawa menghiasi bibirnya

'tabuah' bergema
disambut alunan merdu suara azan
melalui corong Toa yang baru saja dipinjam dari balai kelurahan
anak anak berebutan memasuki Surau Tua itu
bapak -bapak, Ibu-ibu dan beberapa remaja serta pemuda
berdatangan ke Surau Tua itu
ada juga para gadis belia
dengan berbagai tingkahnya
datang walau ada yang tak ikut Shalat
tapi hanya karena ingin melihat 'ustadz baru' yang tampan
lalu membuat gaduh di pojokan
ketika adik-adik mereka mengaji
lalu tersenyum senyum centil
dan cengengesan ketika merasa diperhatikan oleh sang ustadz
dengan begitu mereka puas
si ustadz ini akan jadi salah tingkah
karena ia juga merasa ada jamaah yang memperhatikan
ah, ini adalah romansa Surau Tua
cukup indah untuk dikenang
tapi apa yang tersimpan dalam hati masing masing siapa yang tahu

Oh ya kawan,
kalau kita berlama-lama di bagian ini tak kan pernah kunjung selesai
tapi begitulah...
hari hari mulai terasa hidup
Surau Tua itu kini kembali terang benderang
tak lagi sunyi dan angker
pemuda itu masih bertahan

Kawan, cerita Surau Tua tak berakhir di sini
masa berlalu, hari, bulan, dan tahun berganti...
Suatu hari
aku kembali bertanya tentang Surau Tua itu
seorang kawan lama bertutur...
Kawan,
Surau Tua itu sudah lama ditinggalkan
tak ada lagi orang datang untuk beribadah ke sana
bapak-bapak lebih banyak datang ke kedai kopi,
sebagian ibu-ibu suka ngerumpi di tempat arisan
atau sibuk di kantoran
tak lagi terdengar suara 'tabuah'
kumandang azan, dan alunan ayat-ayat suci tiap Jum'at pagi
atau tak ada lagi suara riuh anak anak mengaji
mereka sudah terpaku didepan televisi atau main playstation
atau ada yang sibuk sekolah, les ini, privat itu

Surau Tua itu
kian kian reot
semak semak sudah meninggi
berkejaran dengan alang alang dan pakis liar
tak terdengar lagi pengajian tiap Sabtu malam
tapi sudah berganti dengan suara organ tunggal

tentang sang pemuda...
ia sudah lama meninggalkan kampug itu
tak tahan dengan pedasnya cercaan benci
cemoohan dengki
yang terlontar dari lisan tak bertanggung jawab
ia dikeroyok oleh beberapa orang pemuda
diusir karena difitnah dengan seorang wanita
duhai, kasihan pemuda itu
jadi pemeran Yusuf 'alaihissalam abad modern
hingga kini...
tak seorangpun yang berani maju menggantikan
tak ada lagi yang berjiwa seberani pemuda itu
atau belum punya keberanian
tak peduli, trauma, tak percaya diri

Surau Tua itu...
nasibnya kini kembali merana
tak ada yang mengurus
tak ada yang mengunjungi
konon baru baru ini terjadi sengketa
tentang kepemilikan tanah tempat berdiri Surau Itu
Ah, Surau Tua...
nasibmu
entah sampai kapan...
________________________
::karya selepas makan malam,::

Kairo, suatu malam di musim semi, Senin/8 Maret 2010
22:45 CLT
Harun AR








Selasa, 11 Juni 2013

Alunan Kalam Senja

Sore itu, setelah mendapat restu dari syekh, kami bergegas meninggalkan markaz menembus kepulan asap kendaraan yang berlalu lalang berbaur dengan debu jalanan yang menyesakkan nafas dan mengganggu pandangan sepanjang perjalanan dari Hawamidiyah menuju Kairo.

Tramco terus melaju berpacu dengan gelap malam, mengejar Maghrib di mahattah Munib. Di sela-sela suara berisik musik padang pasir tak karuan si sopir terus berteriak mamanggil penumpang.

"Munib...Munib.. Giza...Munib..."

Merasa tak nyaman dengan suara bising musik itu, seorang penumpang meminta sopir untuk mengecilkan volume audionya. Tanpa banyak protes akhirnya pemuda tanggung itu mengecilkan volume musik dan perlahan suara dendangan arab itu menghilang.

Tramco putih itu terus melaju, tak lama kemudian si sopir menyetel murattal, dari alunan suaranya sudah tak asing lagi, Imam Syaikh Musyari Rasyid dengan kelembutan suaranya yang khas membacakan Surat Ar-Rahman. Semua penumpang terdiam menikmati lafaz lafaz mulia itu. Ada nuansa sejuk yang menggetarkan hati.

Begitulah di negeri ini, hampir semua orang-sekeras apapun wataknya- selagi dia masih muslim akan mudah luluh dengan bacaan Al-Qur'an. Di Negeri ini, bukanlah suatu yang aneh jika ada orang yang membawa msuhaf ke mana-mana, membaca Al-Qur'an di bis, di metro(kereta), di angkutan umum lainnya, ataupun saat menunggu bis di halte. Al-Quran adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari hari-hari mereka. Baik pada hari-hari di bulan Ramadhan ataupun luar Ramadhan, sepertinya tak jauh beda.Bahkan di angkutan umum, alunan suara murattal bukan suatu hal yang asing. Memang tak seluruh sopir yang suka menyetel murattal di kendaraan mereka. Ada juga yang suka musik-musik tak karuan.Tapi tak ada yang berani komplain ketika sudah dihadapkan kepada lafaz-lafaz suci ini.

Ada sebuah pengalaman menarik seorang teman yang membuatku kagum lagi. Suatu ketika kawan ini melakukan perjalanan. Di tramco, ada seorang pemuda menyetel murattal lewat ponselnya, dengan volume yang agak dibesarkan agar semua orang bisa ikut menikmati. Ketika si sopir datang, dia meyetel musik dengan volume yang lumayan kencang, cukup untuk menyaingi suara ponsel tadi, lantas seorang bapak protes pada sopir dan menyuruh si sopir mamatikan musiknya. Sang Sopir tak menerima, dan terjadilah perdebatan sengit. Penumpang lain tak tinggal diam, dan akhirnya membela si bapak dan pemuda yang menyetel murattal tadi. "Dia lebih dahulu menyetel murattal daripada musik anda. Jadi tolong hargai bacaan Al-Qur'an itu..." Akhirnya si sopir terdiam dan kemudian mematikan musiknya, si pemuda pun ikut mematikan alunan murattal di ponselnya.Mungkin untuk menghargai perasan si sopir.Suasana berubah hening. Namun tak lama kemudian si sopir kembali menyetel audio car nya, tapi kali ini tak musik lagi, melainkan murattal.

Subhanallah, ini salah satu bukti ketundukan hati mereka pada Al-Qur'an.

Mengagumkan. Mereka juga sangat kagum dan senang pada siapapun yang hafal Al-Qur'an, apalagi orang asing. Tapi ini bukan berarti mereka tak hafal, malah sebaliknya.Setidaknya rata-rata mereka telah pernah menghafal Al-Qur'an 30 juz. Dan yang menarik lagi, mereka senantiasa berprasangka baik bahwa orang lain juga cinta pada Al-Qur'an. Maka ketika di bis atau dimana saja jika mereka melihat ada yang memasang headset, kalau mereka ingin berkomentar atau bertanya, mereka akan bertanya begini; "bitisma' Qur'an?" (Kamu lagi degarin Al-Qur'an ya?)"

Inilah salah satu potret terindah yang pernah kutemui di negeri Seribu Menara ini. Orang-orang yang cinta dengan bacaan Al-Qur'an, meskipun watak mereka sangat keras dan tempramen. Tapi hati mereka mudah luluh dengan ayat-ayat Tuhan mereka.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal."(Qs. Al Anfaal ;2).

Potret ini akan mudah kita saksikan ketika 'berjalan' di negeri Nabi Musa ini. Seperti pengalaman perjalanan pulangku senja ini.

Di negeriku nun jauh di sana... ada ga ya, sopir angkot yang pede nyetel murattal?

Atau orang yang senang membaca Al-Qur'an, yang hatinya segera bergetar tunduk ketikamendengan bacaan Al-Qur'an?

________________________
Sepenggal cerita perjalanan pulang, senja yang menggetarkan hati, mengusik inspirasiku, menggoda naluriku untuk nulis lagi. Semoga bermanfaat untuk kita semua, Allahu a'lam.
>>Hawamdeya-Munib-New Cairo | 8 Oktober 2010

Yang Pertama yang Istimewa

Ada hal menarik yang sering kujumpai di wall fb beberapa hari ini.

Pertama, tiap kali kubuka wall, profil pertama yang muncul dan berada di urutan pertama orangnya tetap itu-itu saja. Selalu dia dari hari ke hari.

Kedua, setiap ku melakukan "posting", share atau update, yang ngasih jempol pertama selalu orangnya sama dan kemudian disusul yang lainnya. ^_^ Makasih buat yang sika ngasih jemPol.
Ketiga, ada yang selalu pertama memberikan respon pada status, foto, atau yang lainnya.
Keempat, ada juga yang pertama kali update dalam hal informasi.

Unik, dan masih bayak lagi "yang pertama" lainnya. Dan kawan barangkali juga pernah merasakan hal serupa.

Well, tak masalah dan tak ada yang salah. Mari kita tinggalkan pembahasan tentang mereka tadi. karena tak terlalu menarik pembahasan tentang orang-orang itu, dan kita tak berhak membahasnya. Lagian saya juga tak berminat "memperkarakan" mereka. Ntar tak ada lagi yang ngasih apresiasi. Biarkan mereka berkembang. .
Tapi ada yang lebih menarik untuk dibicarakan, yaitu istilah "yang pertama" Ada sebuah energi super yang terkandung dalam istilah itu. Hingga pada kenyataan banyak orang berlomba-lomba untuk mencapainya. Dan rata-rata orang memberikan sebuah apresiasi kepada mereka "yang pertama", ya tentunya dalam hal-hal kebaikan.

Mari kita baca biografi para tokoh dunia, khususnya dalam dunia sains (ilmu pengetahuan). Rata-rata mereka adalah para pioneer hingga nama mereka dikenang dan dihargai.

Allah SWT dan Rasul-Nya pun memberikan penghargaan kepada mereka yang pertama dalam melakukan kebaikan. Dalam Al-Qur'an Allah menyuruh kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (..fastabiqul khairat).
Demikian juga Allah memuliakan para "assaabiquunal awwaluun" -mereka yang pertama masuk islam-, hingga memuliakan mereka dengan syurga.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan gelar "Ash-Shiddiq" kepada Abu Bakar karena dialah sahabat yang pertama kali membenarkan kerasulan beliau.

Artinya ada penghargaan istimewa untuk yang pertama.

Walaupun terkadang sebagian orang-orang yang cinta kepada keburukan, juga memberikan apresiasi kepada mereka yang pertama kali berhasil menimbulkan kemakaran. Tentu saja konteks ini diluar batas "etis" dan bukanlah hal yang diinginkan, melainkan sebuah penyimpangan. Namun pada hakikat tetap ada penghargaan kepda mereka "yang pertama", karena ia memang begitu istimewa.

Sungguh beruntung mereka yang pertama...

Yang pertama mengucapkan sami'na wa atho'na terhadap perintah Allah dan Rasulnya.
Yang pertama menjawab seruan shalat dan ada di shaff pertama dalam shalat.
Yang pertama peka dan peduli dengan kondisi saudara-saudaranya serta memberikan keringanan, dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan.
Yang pertama hadir dalam majelis ilmu dan kebaikan.
yang pertama menjalin silaturrahim dan mema'afkan kesalahan saudaranya
Yang pertama bangun malam hari kala orang lain terlelap, lalu bermunajat pada-Nya.
Yang pertama menebar kebaikan hingga diikuti oleh orang-orang sesudahnya, hingga menjadi amal jariyah bagi dirinya.

“Barang siapa yang memberikan contoh dalam Islam, suatu contoh yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang mencontohkan contoh jelek dalam islam maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka”. (HR. Muslim)

 
Masih banyak peluang "Yang Pertama" lainnya yang memiliki keistimewaan tak ternilai.
So, mari jadi yang pertama. Karena yang pertama memang yang istimewa.

*catatan:Terdapat banyak pengulangan kata "Yang pertama" . Sengaja ditulis begitu agar kata "Yang Pertama" itu berkesan di hati. Semoga menjadi motivasi bagi kita semua. Terutama bagi kami pribadi.
Mohon maaf atas kekhilafan.
Allahu a'lam...

>Kamar atas , Almakki basecamp -Kampung 10- Nashr City-Cairo
Sebuah coretan dadakan
Suatu senja yang gerah 23 Juni 2010
Terimakasih buat sahabat-sahabat yang telah menjadi "Yang pertama" hingga menginspirasi tulisan ini. Semoga kita tetap yang pertama



#Arsip

Andai Hati Sebening Embun

Bismillah...

Selamat datang di hari ini. Semoga hari ini menjadi yang terindah dalam hidupmu. Tentunya bersama kebeningan hati mencari keberkahan dan ridho Sang Pencipta.

Kawan, sesekali cobalah tatap embun pagi. Bening sekali bukan? Namun kebeningan itu mampu memadukan aneka warna sekitar menjadi pesona terindah alam semesta. Beningnya tak ternoda hingga kita juga bisa menatap dengan jernih pemandangan dibelakangnya.

Sesekali, tataplah tetesan embun itu.Tetesan-tetesannya mampu memantulkan kemilau sinar surya pagi, memancarkan aura benderang dan keindahan di hamparan bumi ini. Tetesannya juga mampu memberikan kesejukan di tengah kersangnya dunia ini. Coba tatap lagi dengan penghayatan. Di sana kita akan merasakan agungnya mahakarya Sang Pencipta untuk kita renungi.

Kita. Alangkah indahnya jika kita memiliki hati sebening embun. Dengannya kita akan bisa menatap hidup ini lebih jernih. Hati sebening embun akan menerima kehidupan ini apa adanya namun mampu menjadikannya keindahan yang luar biasa. Seburuk dan serusak apapun bayangan yang diterima akan tetap dijadikan indah untuk ditatap. Inilah ketulusan dan kejernihan.

Hati sebening embun akan mampu memberikan kesejukan meskipun disekitarnya penuh kegersangan. Tak peduli seberapa banyak energi yang ia keluarkan.

Hati sebening embun, akan mampu menatap kehidupan ini dengan jernih, tak peduli sesemrawut apapun masalah yang dihadapi.

Andai kita pemilik hati sebening embun. Semoga





Menanti Fajar Shubuh, Jum'at 23.12.2011 : 05:45--
Istana SINAI Kampung 10 - Kota Kemenangan-