Kamis, 09 Agustus 2012

Mesir Baru; Masa Depan Hubungan Militer-Sipil


Setelah rezim Mubarak lengser dari pemrrintahan, tanggung jawab pemerintahan dimandatkan kepada lembaga militer yang dipimpin oleh Dewan Tertinggi Angkatan Besenjata (SCAF). Sejak awal-awal kejatuhan rezim,  rakyat Mesir menerima kebijakan ini dengan harapan Dewan Militer benar-benar bisa menyelamatkan proses peralihan kekuasaan ini hingga demokrasi benara-benar terwujud. Kepercayaan ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

1.    Belum siapnya faksi-faksi revolusi untuk mengambil alih pemerintahan.
2. Kekuatan-kekuatan politik masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri dalam  menyambut proses demokrasi.
3.    Ketidak siapan lembaga-lembaga negara untuk menyelenggarakan proses pemilu. Karena kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan rezim. Sementara itu revolusi menuntut perombakan total seluruk konstitusi yang ada.
4. Kedekatan emosional antara militer dan rakyat terutama pada hari-hari terakhir menjalang jatuhnya rezim Mubarak.

Permasalahan baru muncul setelah masa transisi berlangsung beberapa lama.Pemerintahan transisi masih dinilai belum bisa memaksimalkan perannya mengantarkan Mesir menuju demokrasi seperti yang diinginkan revolusi.
Indikasi:
1.    Kebingungan akibat tidak jelasnya sikap politik dewan militer.
2.    Lambannya aplikasi tuntutan revolusi, khususnya proses pengadilan mantan presiden Husi Mubarak atas peristiwa pembunuhan demonstran.
3.    Toleransi terhadap pelaku pidana terutama pelanggaran hak-hak keluarga syuhada’ revolusi dan kurang serius menangani korban-korban revolusi
4.    Kurangnya ketegasan dan keseriusan menindak pihak-pihak yang ingin memanfaatkan masa-masa labil.
5.    Interfensi militer terhadap parlemen
6.    Tak ada keserusan militer dalam merespon beberapa peristiwa, seperi insiden maspiro, port said, dll.
7.    Ditemukan keterlibatan militer melakukan kekerasanterhadap para demonstran.
8.    Keberpihakan militer pada rezim lama dan adanya intervensi atas lembaga-lembaga penentu kebijakan negara.

Puncak ketegangan mulai meruncing pada masa-masa pilpres, terutama pasca dikeluarkannya Konstitusi Penyempurna yang membatasi wewenang pesiden terpilih.Hal ini mengudang reaksi kemarahan banyak pihak.Akan tetapi hal ini menjadi salah satu pendorong bersatunya kekuatan revolusi dalam mengantarkan Dr.Mursi ke kursi presiden. Satu target revolusi tercapai.
Lantas bagaimana nasib hubungan antara meperintahan baru (sipil) dengan militer?Mampukah pemerintahan baru dengan Proyek Kebangkitan Bangsanya bersinergi dengan militer tanpa mengkhianati cita-cita revolusi dan tuntutan rakyat?
Ada beberapa kebijakan yang akandiambil pemerintah, dalam hal ini untuk memaksimalkan peran militer dalam pemerintahan baru:
1.   Memaksimalkan peran dan wewenang militer sebagai penjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman
2.   Menjamin kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta bermartabat terutama kalangan prajurit
3.  Melakukan perombakan ideologi dalam tibuh militer, dari loyal terhadap satu figur menjadi loyal terhadap kepentingan negara dan bangsa.
4.   Meningkatkan kualitas dan keterampilan pertahanan personil.
5. Menjalin komunikasi aktif dan baik dengan dewan militer sebagai pembuat kebjakandi tubuh militer
6.  Memperjelas peta wewenang dalam peran pembangunan bangsa agar tak terjadi tumpang tindih kebijakan dan kepentingan.

Referensi: 
Amerika, Militer dan Ikhwanul Muslimin - Muhammed Saruji

0 komentar:

Posting Komentar