Setelah
rezim Mubarak lengser dari pemrrintahan, tanggung jawab pemerintahan
dimandatkan kepada lembaga militer yang dipimpin oleh Dewan Tertinggi Angkatan
Besenjata (SCAF). Sejak awal-awal kejatuhan rezim, rakyat Mesir menerima kebijakan ini dengan
harapan Dewan Militer benar-benar bisa menyelamatkan proses peralihan kekuasaan
ini hingga demokrasi benara-benar terwujud. Kepercayaan ini didukung oleh
beberapa faktor, antara lain:
1.
Belum siapnya
faksi-faksi revolusi untuk mengambil alih pemerintahan.
2. Kekuatan-kekuatan
politik masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri dalam menyambut proses
demokrasi.
3.
Ketidak siapan
lembaga-lembaga negara untuk menyelenggarakan proses pemilu. Karena kekosongan
pemerintahan yang ditinggalkan rezim. Sementara itu revolusi menuntut
perombakan total seluruk konstitusi yang ada.
4. Kedekatan
emosional antara militer dan rakyat terutama pada hari-hari terakhir menjalang
jatuhnya rezim Mubarak.
Permasalahan
baru muncul setelah masa transisi berlangsung beberapa lama.Pemerintahan
transisi masih dinilai belum bisa memaksimalkan perannya mengantarkan Mesir
menuju demokrasi seperti yang diinginkan revolusi.
Indikasi:
1.
Kebingungan
akibat tidak jelasnya sikap politik dewan militer.
2.
Lambannya
aplikasi tuntutan revolusi, khususnya proses pengadilan mantan presiden Husi
Mubarak atas peristiwa pembunuhan demonstran.
3.
Toleransi
terhadap pelaku pidana terutama pelanggaran hak-hak keluarga syuhada’ revolusi
dan kurang serius menangani korban-korban revolusi
4.
Kurangnya
ketegasan dan keseriusan menindak pihak-pihak yang ingin memanfaatkan masa-masa
labil.
5.
Interfensi
militer terhadap parlemen
6.
Tak ada keserusan
militer dalam merespon beberapa peristiwa, seperi insiden maspiro, port said,
dll.
7.
Ditemukan
keterlibatan militer melakukan kekerasanterhadap para demonstran.
8.
Keberpihakan
militer pada rezim lama dan adanya intervensi atas lembaga-lembaga penentu
kebijakan negara.
Puncak
ketegangan mulai meruncing pada masa-masa pilpres, terutama pasca
dikeluarkannya Konstitusi Penyempurna yang membatasi wewenang pesiden
terpilih.Hal ini mengudang reaksi kemarahan banyak pihak.Akan tetapi hal ini
menjadi salah satu pendorong bersatunya kekuatan revolusi dalam mengantarkan
Dr.Mursi ke kursi presiden. Satu target revolusi tercapai.
Lantas
bagaimana nasib hubungan antara meperintahan baru (sipil) dengan
militer?Mampukah pemerintahan baru dengan Proyek Kebangkitan Bangsanya
bersinergi dengan militer tanpa mengkhianati cita-cita revolusi dan tuntutan
rakyat?
Ada
beberapa kebijakan yang akandiambil pemerintah, dalam hal ini untuk
memaksimalkan peran militer dalam pemerintahan baru:
1. Memaksimalkan
peran dan wewenang militer sebagai penjaga kedaulatan negara dari berbagai
ancaman
2. Menjamin
kesejahteraan dan penghidupan yang layak serta bermartabat terutama kalangan
prajurit
3. Melakukan
perombakan ideologi dalam tibuh militer, dari loyal terhadap satu figur menjadi
loyal terhadap kepentingan negara dan bangsa.
4. Meningkatkan
kualitas dan keterampilan pertahanan personil.
5. Menjalin
komunikasi aktif dan baik dengan dewan militer sebagai pembuat kebjakandi tubuh
militer
6. Memperjelas peta
wewenang dalam peran pembangunan bangsa agar tak terjadi tumpang tindih
kebijakan dan kepentingan.
Referensi:
Amerika, Militer dan Ikhwanul Muslimin - Muhammed Saruji
0 komentar:
Posting Komentar